Desain Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara di Kalimantan Timur (Kaltim). Dok: ist

JAKARTA – Direktur Eksekutif IndoStrategic Ahmad Khoirul Umam menganggap, Menteri Koordinator bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Pandjaitan melakukan manipulasi informasi dengan mengklaim 110 juta warga setuju dengan wacana penundaan Pemilu.

“Yang disampaikan Pak Luhut itu jelas itu adalah manipulasi informasi. Data 110 juta itu jelas, tidak merepresentasikan apapun karena tidak ada konfirmasi data yang mana,” kata pakar ilmu politik ini dalam diskusi Total Politik di kutip dari Tempo.co. Senin (14/3/2022).

Menurut Ahmad, klaim Luhut tersebut mempertegas sistematisnya isu penundaan Pemilu 2024 ini sengaja digulirkan oleh orang-orang yang berada di lingkungan pemerintah. Padahal, ditegaskannya, tidak ada satu survei pun yang menyebutkan penundaan Pemilu 2024 disuarakan rakyat.

“Konteksnya begini, kalau kita cek lebih detail perkembangan terakhir, ini kan dilakukan secara sistematis, mulai dari suara menteri, kemudian sekarang Ketum Parpol, sekarang ormas (NU). Ini tiga elemen yang sangat luar biasa,” ucapnya.

Ahmad menduga isu tersebut terus digulirkan orang-orang yang berada di lingkaran pemerintah semata untuk memuluskan proyek pembangunan dan pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara. Sebab, kata Umam, statemen Luhut soal big data ini serupa klaimnya tentang investasi Softbank terhadap IKN.

Ahmad melanjutkan, Softbank adalah pihak yang selama ini diklaim luhut akan memberikan investasi sekitar US$100 miliar atau Rp1.400 triliun untuk proyek IKN. Namun, kemudian, klaim rencana investasi itu dicabut sendiri karena Softbank telah menyatakan mundur.

“Kalau kemudian ini dicerna lebih detail maka sebenarnya yang diperjuangkan oleh operasi politik ini kepentingan korporasi, kalkulasi bisnis politik, perselingkuhan politik dan kekuasaan yang memang sengaja dilakukan,” tegas dia.

Penggunaan isu ini untuk kepentingan IKN, menurut Ahmad, akibat cara pandang pemerintah yang menganggap bisnis atau investasi itu membutuhkan kepastian. Lalu, kepastian itu diterjemahkan mereka sebagai penundaan Pemilu 2024 atau perpanjangan masa jabatan Presiden Joko Widodo.

Dia menegaskan, saat wacana penundaan Pemilu 2024 yang sebelumnya disebut-sebut atas restu presiden tidak mendapatkan dukungan politik dan tidak mendapatkan justifikasi dari suara masyarakat yang terlihat dari survei, maka mereka menggunakan narasi big data.