Foto: Tangkapan Layar Youtube BPOM

JAKARTA – Komunitas Konsumen Indonesia melayangkan somasi ke Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM). Ketua Komunitas Konsumen Indonesia, David Tobing mengatakan somasi itu dilayangkan karena mereka menduga ada potensi terjadinya kebohongan publik terhadap pengumuman 133 nama sirup obat yang dinyatakan tidak Menggunakan Propilen Glikol, Polietilen Glikol, Sorbitol, dan/atau Gliserin atau Gliserol karena didasarkan atas registrasi awal bukan hasil pengujian laboratorium.

“Hari ini, kami telah mengirimkan somasi berupa surat keberatan kepada BPOM ditembuskan kepada Presiden RI,” kata dia dalam keterangan tertulis, Kamis (27/20/2022).

Somasi tersebut berisikan:

Pertama, bahwa BPOM RI sebagai lembaga otoritas pengawas obat dan makanan telah lalai melakukan pengawasan pada pre-market dan post-market control.

“Padahal sudah sangat jelas diatur Pasal 2 ayat 1)dan Pasal 3 huruf d Peraturan Presiden Nomor 80 Tahun 2017 Tentang Badan Pengawas Obat dan Makanan mempunyai tugas menyelenggarakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan obat dan makanan dan menyelenggarakan fungsi pelaksanaan Pengawasan Sebelum Beredar dan Pengawasan Selama Beredar,” ucap David.

Kedua, bahwa sehubungan dengan penanganan kasus gagal ginjal akut, BPOM RI dia sebut, telah terbukti lalai dalam melakukan pengawasan. BPOM RI tidak melakukan pengawasan terhadap produk yang telah tergistrasi secara maksimal. Hal ini tidak sesuai dengan pernyataan BPOM RI dalam press release-nya pada poin 3, yang berbunyi:

“kan sesuai dengan peraturan dan persyaratan registrasi produk obat, BPOM telah menetapkan persyaratan bahwa semua produk obat sirup untuk anak maupun dewasa, tidak diperbolehkan menggunakan EG dan DEG.”

Jadi, kata David, terbukti pada saat registrasi obat, BPOM tidak melakukan pengujian terhadap kandungan apa saja yang ada pada obat dan percaya begitu saja dengan keterangan yang diberikan produsen obat.

David menambahkan ternyata setelah kasus gagal ginjal merebak terhadap produk-produk yang telah diregistrasi dan dilakukan uji laboratorium oleh BPOM RI ditemukan zat pelarut tambahan yang mengandung EG dan DEG , jadi sangat jelas menurutnya, BPOM telah kecolongan.

David juga menyoroti pernyataan BPOM RI dalam point 7 rilisnya yang meminta semua industri farmasi yang memiliki sirup obat berpotensi mengandung cemaran EG dan DEG, untuk melaporkan hasil pengujian secara mandiri dan melakukan upaya mengganti formula obat dan/atau bahan baku adalah bentuk Maladministrasi.

“Jelas sekali BPOM tidak melakukan post-market control secara aktif dengan melakukan pengujian obat secara berkala bahkan sejak registrasi pengujian obat diberikan kepada perusahaan farmasi,” tuturnya.

Hal ini, kata dia, membingungkan karena BPOM RI memiliki kewenangan pengawasan obat dan makanan sehingga tindakan BPOM RI untuk melimpahkan post-market control kepada perusahaan farmasi adalah keliru dan tidak sesuai dengan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AAUPB), yaitu Asas Kepastian Hukum dan Asas Profesionalitas karena pengujian produk sirup obat sebagai sediaan farmasi merupakan kompetensi atau kewenangan mutlak dari BPOM RI.

Ketiga, bahwa tindakan BPOM RI menerbitkan Lampiran I Penjelasan BPOM RI Nomor HM.01.1.2.10.22.172 tertanggal 22 Oktober 2022 Tentang Informasi Kelima Hasil Pengawasan BPOM Terkait Sirup Obat yang Tidak Menggunakan Propilen Glikol, Polietilen Glikol, Sorbitol, dan/atau Gliserin/Gliserol, adalah menurutnya, diduga tidak berdasarkan hasil pengujian yang dilakukan produsen maupun BPOM setelah merebaknya kasus gagal ginjal akud, namun hanya didasarkan registrasi obat yang telah dilakukan sebelumnya.

“Tindakan BPOM RI yang mengumumkan 133 obat yang tidak menggunakan Propilen Glikol, Polietilen Glikol, Sorbitol, dan/atau Gliserin/Gliserol berdasarkan registrasi berpotensi terjadinya kebohongan publik karena seharusnya jika dikatakan tidak mengunakan Propilen Glikol, Polietilen Glikol, Sorbitol, dan/atau Gliserin/Gliserol harus didasarkan pengujian secara menyeluruh yang dilakukan BPOM sendiri bukan berdasarkan registrasi awal,” jelas dia.

David menambahkan seharusnya dalam rangka pengawasan post-market control, BPOM RI memiliki Balai Pengujian Khusus Obat dan Makanan sebagaimana diatur dalam Pasal 16 Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 30 Tahun 2019 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksanan Teknis di Lingkungan Pusat Pengembangan Pengujian Obat dan Makanan Nasional Badan Pengawas Obat dan Makanan yang berbunyi: “Balai Pengujian Khusus Obat dan Makanan mempunyai tugas melaksanakan Pengujian Khusus Obat dan Makanan.”

David juga merujuk pada Pasal 3 huruf g Peraturan Presiden Nomor 80 Tahun 2017 Tentang Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) yang berbunyi Dalam melaksanakan tugas pengawasan Obat dan Makanan, BPOM menyelenggarakan fungsi: g. pelaksanaan penindakan terhadap pelanggaran ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pengawasan Obat dan Makanan.” Dan untuk melaksanakan penindakan tersebut, BPOM RI harus melaksanakan sendiri pengujian dan tidak menyerahkan kewenangan kepada perusahaan farmasi.

“Sudah jelas kok dinyatakan dalam Pasal 17 huruf b Pasal 16 Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 30 Tahun 2019 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksanan Teknis di Lingkungan Pusat Pengembangan Pengujian Obat dan Makanan Nasional Badan Pengawas Obat dan Makanan.

Adapun pasal itu berbunyi: Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16, Balai Pengujian Khusus Obat dan Makanan menyelenggarakan fungsi: b. pelaksanaan pengujian kimia, mikrobiologi, dan biologi molekuler dalam rangka investigasi dan/atau penyidikan Obat dan Makanan dalam lingkup nasional dan internasional.”

David menyatakan BPOM RI harus melakukan pengujian seluruh produk yang telah dikeluarkan izin edar secara mandiri termasuk mengumumkan kembali hasil-hasil uji produk sirup obat yang dilakukan oleh BPOM bukan hasil pengujian oleh Produsen Obat , dan menuntut BPOM RI meminta maaf kepada konsumen di Indonesia.