Sidang perkara menggunakan, membuat surat palsu dan atau menyuruh menempatkan keterangan palsu dalam akta otentik, dengan terdakwa Ketua Forum Korban Mafia Tanah Indonesia (FKMTI) SK. Budiardjo dan istrinya, Nurlala Sinaga, kembali digelar Selasa (11/4/2023). Dok: ist

JAKARTA – Sidang perkara menggunakan, membuat surat palsu dan atau menyuruh menempatkan keterangan palsu dalam akta otentik, dengan terdakwa Ketua Forum Korban Mafia Tanah Indonesia (FKMTI) SK. Budiardjo dan istrinya, Nurlela Sinaga, kembali digelar Selasa (11/4/2023).

Nurlela mengaku sedih atas nasibnya dan suami, dalam kasus yang dilaporkan PT Sedayu Sejahtera Abadi (SSA) itu. Perasaan tersebut terungkap saat dirinya ditanya tim penasihat hukum, Mercy Sihombing.

“Selain harus kehilangan tanah yang telah dibeli secara sah, saya bersama suami harus mendekam di penjara dan meninggalkan anak-anak selama 66 hari,” kata dia. Menurut dia, suaminya dalam kasus ini merupakan pembeli tanah yang beritikad baik.

Diketahui, meski berstatus terdakwa, Nurlela dihadirkan sebagai saksi untuk kasus yang menjerat suaminya. Menurut tim kuasa hukum lainnya, Muhammad Yahya Rasyid, Nurlela yang sedianya dijadikan jaksa penuntut umum (JPU) sebagai saksi yang memberatkan bagi SK Budiardjo. Namun kenyataannya malah sebaliknya.

“Materi keterangannya malah membuktikan keaslian/keabsahan surat-surat yang dituduhkan palsu,” kata Yahya.

Menurut tim kuasa hukum, keterangan saksi dan bukti-bukti dokumen yang diperlihatkan oleh Nurlela justru sama sekali tidak memenuhi unsur-unsur delik Pasal 263 KUHPid dan pasal 266 KUHPid. Serta tidak ada tindak pidana sebagaimana dakwaan jaksa, yang menjerat SK Budihardjo dan Nurlela.

Bahkan, lanjut dia, selain menerangkan kronologi kepemilikan tanah SK Budihardjo secara rinci, saksi Nurlela juga menunjukan sejumlah dokumen asli tanda bukti kepemilikan dan dasar peralihan haknya.

“Melalui persidangan yang terbuka untuk umum, dengan lancar saksi Nurlela menerangkan riwayat tanah dan peralihan hak kepemilikannya, berikut bukti-bukti asli yang diperlihatkan di hadapan majelis hakim,” papar Yahya.

Nurlela pun, kata dia, menunjukkan dokumen asli Girik C No. 1906 seluas 2.231 m², peralihan haknya diperoleh dari Abdul Hamid Subrata dengan PPJB Nomor: 24 yang dibuat di hadapan Notaris Haji Uyun, dimiliki sejak tahun 2006.

Abdul Hamid Subrata, kata dia, sebelumnya mendapatkan tanah tersebut dengan membeli dari Tiing Bin Senan, berdasarkan AJB No. 246/SI/12/BC/1976. Saksi Nurlela juga Surat Pernyataan Tidak Sengketa yang dibuat Abdul Hamid Subrata, disaksikan RT-RW setempat dan dicatat dalam register Lurah Cengkareng Timur.

“Selain itu, ada juga dokumen IPEDA tahun 1979 dan Surat Kecamatan Cengkareng No. 560 yang menerangkan bahwa AJB No 246/SI/12/BC/1976 tercatat pada buku register Kecamatan Cengkareng,” kata dia.

Selanjutnya, kata Yahya, saksi Nurlela menunjukan dokumen asli Girik No. 5047 luas 548 m² yang diperoleh dari Edy Suwito berdasarkan PPJB No. 10 tahun 2008. Ditunjukan pula Surat Keterangan Kelurahan Cengkareng Timur No. 69/1.711.13, No. 27/1.711 dan No. 58/1711.1 berikut Surat Keterangan Kecamatan Cengkareng No. 1452/1.711.1.

Edy Suwito, kata dia, sebelumnya memperoleh tanah tersebut dari H. Nawi bin Binin, berdasarkan AJB No. 1701 tahun 1990. Terakhir, saksi Nurlela menunjukan dokumen asli Girik No. 391 luas 1.480 m² dan 6.000m². Tanah girik ini, kata dia, diperoleh dari RAIS berdasarkan PPJB tahun 2007 yang juga telah dirampas oleh PT SSA. Ditunjukan pula dokumen Surat Keterangan Kelurahan Cengkareng Barat No. 242/1.711.1, Surat Keterangan Kelurahan Cengkareng Timur No. 125/1.711.43, No. 128/1.171.1 dan No. 194/1.711.1. Bahkan, bukti pembayaran pajak terarsip dengan rapih.

Keterangan saksi Nurlela tentang asal usul kepemilikan tanah ini, menurut dia, lebih kredible dan terpercaya ketimbang kesaksian Letnan Jenderal TNI (Purn) Nono Sampono.

Saat diperiksa di persidangan, kata Yahya, Nono membuat laporan polisi hanya berdasarkan asumsi/dugaan mereka tentang surat palsu tapi tidak dapat membuktikan surat yang mana yang dipalsukan tidak dapat menunjukkan surat asli dan yang palsu. Hanya menerangkan PT SSA membeli tanah dari PT BMJ berdasarkan SHGB No. 1633.

“Pada bulan November 2010, padahal perampasan, pencurian kontainer dan pemukulan terhadap diri Budiharjo dilakukan pada bulan April 2010. Ketika Letnan Jenderal TNI (Purn) Nono Sampono ditanya riwayat SHGB No. 1633 NONO tak dapat menjelaskan rinciannya hanya bicara ada datanya tapi tidak dapat menunjukkan di persidangan,” papar Yahya.

“Sebelumnya kami maklum, karena Letnan Jenderal TNI (Purn) Nono Sampono menurut keterangannya di persidangan, baru dijadikan Dirut PT SSA tahun 2015 tanpa melalui RUPS perusahaan yang demikian besarnya. Padahal, kepemilikan tanah klien kami sudah ada sejak tahun 2006,” imbuhnya.

Di samping itu, kata dia, saat melaporkan peristiwa pemukulan, penyerobotan tanah, dan pencurian kontainer, saksi Nurlela tidak pernah menjadikan PT SSA, Nono Sampono atau siapa pun sebagai terlapor, karena terlapor dalam lidik.

“Lalu kenapa PT SSA baper merasa tercemar dan kemudian membuat laporan balik yang berujung kriminalisasi terhadap SK Budihardjo dan Nurlela?” jelas Yahya.

“Di situlah, adanya dugaan permainan mafia tanah bekerja. SK Budihardjo selaku Ketua FKMTI membahayakan eksistensi mafia tanah. Karenanya sebelum kedok mafia tanah terbongkar, maka SK Budihardjo yang memperjuangkan para korban mafia tanah kurang lebih 32 ribu orang yang tersebar di seluruh wilayah NKRI harus dibungkam,” tandas Yahya.