Menteri Agraria Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Hadi Tjahjanto meninjau sembilan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) di wilayah kawasan Ibu Kota Nusantara (IKN), Kalimantan Timur, Rabu (14/9/2022). Dok: IP/Agung

JAKARTA – Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mengkritisi langkah kebijakan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Hadi Tjahjanto yang menawarkan insentif perizinan hak guna bangunan (HGB) hingga 160 tahun bagi calon investor di Ibu Kota Nusantara (IKN).

Sekretaris Jendral KPA Dewi Kartika menyebut tawaran itu melanggar Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria atau yang lazim disebut UUPA 1960.

Dia menjelaskan dalam UUPA 1960, pemberian HGB hanya boleh sampai 30 tahun dan dapat diperpanjang 20 tahun.

“Hal ini jelas sangat bertentangan, dalam UUPA (Undang-Undang Pembaruan Agraria) juga tidak ada ketentuan soal pembaruan hak atas tanah dan tidak mengenal pembagian siklus dalam pemberian hak atas tanah,” kata Dewi saat dihubungi Indonesiaparlemen.com di Jakarta, Kamis (20/10/2022).

Dewi menilai, jika tawaran tersebut mengacu pada UU Cipta Kerja, maka tetap tidak sah. Sebab, kata dia, UU Cipta Kerja telah dinyatakan inkonstitusional oleh Mahkamah Konstitusi.

Dewi menegaskan aturan HGB mesti merujuk pada UUPA 1960 sebagai payung hukum agraria nasional, yang tak lain merupakan terjemahan dari Pasal 33 UUD 1945.

Dalam pasal tersebut, kata Dewi, dijelaskan bahwa tanah dan air harus digunakan dan dimanfaatkan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, dengan melarang adanya monopoli tanah oleh segelintir kelompok.

Atas dasar itu, Dewi mengkritik pemerintah berambisi membangun proyek di IKN sampai rela melakukan penyimpangan terhadap UU dan konstitusi.

“Berbagai upaya terus dilakukan pemerintah demi mengundang investor ke IKN, meskipun dengan mengakali dan menabrak berbagai peraturan, undang-undang, bahkan konstitusi,” ujar dia.

Selain melanggar undang-undang, Dewi menilai tawaran itu juga berpotensi meningkatkan letusan konflik agraria, ketimpangan, dan monopoli tanah di Kawasan IKN. Sebab, sebagian kawasan IKN berada di atas tanah dan wilayah masyarakat adat.

Dewi pun menilai pemerintah seolah-olah sedang menjadi perpanjangan tangan dan bekerja untuk kepentingan para investor.

“Menteri ATR/BPN yang seharusnya bekerja bagaimana memastikan penyelesaian konflik agraria dan redistribusi tanah untuk rakyat,” ucap dia.

Jurnalis: Agung Nugroho