Kuasa hukum Ali Surjadi, Saddan Sitorus, menyesalkan sikap Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Timur yang tidak tegas dalam membela kliennya dalam kasus penggelapan dana PT Surya Rezeki Timber Utama (SRTU) yang dilakukan terdakwa kakak beradik M Alwi dan Junaidi Hassan.

JAKARTA – Sidang perkara tindak pidana penggelapan dalam jabatan dengan terdakwa Muhammad Alwi dan Junaidi Hasan kembali digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, Kamis (21/7/2022).

Kuasa hukum Ali Surjadi, Saddan Sitorus, menyesalkan sikap Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Timur yang tidak tegas dalam membela kliennya dalam kasus penggelapan dana PT Surya Rezeki Timber Utama (SRTU) yang dilakukan terdakwa kakak beradik M Alwi dan Junaidi Hassan.

Saddan menilai persidangan yang digelar tidak mencerminkan keadilan hukum.

Hal ini lantaran, kliennya bernama Ali Surjadi sebagai pelapor dan pihak yang dirugikan tidak dibela hak-haknya oleh Jaksa. Menurutnya, Jaksalah yang seharusnya membela hak-hak kliennya sebagai pelapor karena menjadi korban penipuan oleh terlapor.

“Persidangan ini tidak mencerminkan keadilan hukum. kliennya kami ini kan korban pelapor, Seharusnya hak-hak pelapor ini diwakili oleh Jaksa. Sementara itu jaksa tidak mau repot menegakkan hukum itu sendiri, terkesan pasif,” kata Saddan kepada wartawan, Kamis (21/7/2022).

Sebagai kuasa hukum, Saddan juga mempertanyakan tidak hadirnya terdakwa M. Alwi dan Junaidi Hassan dalam persidangan tersebut.

“Kita mempertanyakan kenapa dalam persidangan ini terlapor tidak hadir. Katanya terdakwa lagi sakit jadi tidak bisa menghadiri persidangan ini,” ucap dia.

“Di sini disebutkan bahwa penyakitnya itu. Salah satu kesimpulan rumah sakit di sini dijelaskan kemampuan berbicara terdakwa terganggu erat, tidak mengetahui perintah,” imbuh dia.

Saddan dan tim kuasa hukum tidak yakin bahwa terdakwa memang benar-benar dalam keadaan sakit, seperti yang disebutkan dalam keterangannya berita acara.

Pasalnya, berdasarkan data-data yang dimiliki tim kuasa hukum LQ Indonesia Law firm, bahwa terdakwa diduga tidak mengalami kesakitan sebagaimana yang disebutkan dalam keterangan itu.

“Ini berbanding berbalik dengan data yang kita miliki. Jadi Minggu lalu beliau itu hadir dalam persidangan. Artinya apa beliau bisa dong mendengar perintah dari seseorang. Ini yang perlu kita uji di pegadilan ini,” kata dia.

“Jangan nanti dengan alasan yang seperti surat sakit ini yang dianulir kami duga palsu ini menjadi president buruk bagi pengadilan negeri Jakarta Timur, di sinilah integritas seorang jaksa, seorang hakim harus benar-benar dilihat,” sambungnya.

Jaka Maulana yang juga ditunjuk sebagai kuasa hukum korban menyebutkan bahwa kliennya sudah mengalami kerugian sebesar Rp11 Miliar yang seharusnya dibela oleh Jaksa.

“Kalau tidak ada pembelaan terhadap pelapor lalu buat apa sebenarnya pelapor ini melaporkan hal kerugiannya. Kerugiannya ini 11 miliar dan dilakukan tanpa wewenang, jelas merugikan kliennya kami,” tutur Jaka.

Dia menceritakan kronologi penggelapan dana yang dilakukan oleh terdakwa M. Alwi dan Junaidi Hassan.

Waktu itu, kata Jaka, kliennya memberikan pekerjaan kepada terdakwa untuk mengurus semua bisnis PT SRTU.

Namun, terdakwa malah merubah semua administrasi perusahaan tersebut, sampai mengubah rekening yang dimiliki PT SRTU, sehingga perusahaan mengalami kerugian.

“Muhammad alwi dan Junaidi Hasan itu telah Menggambil uang klien kami, tentu itu berdasarkan dengan jabatan yang ia miliki, dia bekerja di perusahaan klien kami, sekarang kita laporkan dan disidangkan dia sudah menjadi terdakwa, tetapi tidak hadir dalam persidangan dengan alasan sakit. Ini yang kemudian jadi pertanyaan besar bagi kami, kenapa jaksa itu terkesan santai dan tidak mau jemput bola, semua ada dasar hukumnya dan jaksa punya kewenangan itu,” jelas dia.

Jaka mengingatkan, agar jaksa lebih giat untuk menunjukkan sikap integritas sebagai penegak hukum, lebih agresif demi terciptanya cita-cita keadilan dan kepastian hukum.

“Saudara jaksa itu harus aktif melakukan kroscek untuk surat sakit terdakwa dengan benar, agar tidak ngalir ngidul, tegak lurus agar animo masyarakat semakin percaya kepada lembaga penegakan hukum ini, seperti kepada jaksa dan penegakan hukum yang lain” jelas Jaka.

Sebagai informasi, perkara ini bermula pada sekitar tahun 2018, ketika kedua terdakwa yang merupakan kakak-beradik ini menawarkan diri kepada korban Ali Surjadi untuk membantu mengurus perusahaan PT Surya Rezeki Timber Utama.

Oleh korban, kedua terdakwa kemudian ditunjuk untuk mengurus seluruh kegiatan operasional perusahaan.

Setelah dipercaya untuk mengurus perusahaan tersebut, kedua terdakwa mengubah sistem administrasi perusahaan dari yang otomatis menjadi manual.

Pada Februari 2019, di dalam laporan pertanggungjawabannya, M. Alwi dan Junaidi Hassan melaporkan kepada korban bahwa keuntungan yang didapatkan oleh perusahaan adalah sebesar Rp900 juta rupiah.

Mendapatkan laporan tersebut, korban Ali Surjadi yang curiga kemudian melakukan audit dengan menggunakan jasa auditor independen, dengan hasil audit yang menunjukkan adanya indikasi kerugian Rp10,6 miliar yang tidak bisa dipertanggungjawabkan oleh M Alwi maupun Junaidi Hassan.

Korban Ali Surjadi kemudian melaporkan M. Alwi dan Junaidi Hassan ke Polres Metro Jakarta Timur dengan dugaan tindak pidana penggelapan dalam jabatan 374 KUHP dan Pasal Penggelapan 372 KUHP serta pasal penipuan 378 KUHP dengan Nomor LP : LP/1517/K/VIII/2020/Res.

Kasus itu kemudian naik ke tahap persidangan dengan nomor perkara : 300/Pid.B/2022/PN Jkt.Tim.