Pendiri dan eks Presiden Aksi Cepat Tanggap (ACT), Ahyudin. Dok: ist

JAKARTA – Pendiri yang juga eks Presiden Aksi Cepat Tanggap (ACT), Ahyudin meminta dibebaskan dari tuntutan hukum.

Hal itu dia utarakan dengan alasan dirinya memiliki 14 anak yang masih kecil. Diketahui saat ini Ahyudin ditahan sebagai terdakwa kasus penggelapan dana bantuan sosial untuk keluarga korban kecelakaan Pesawat Lion Air Boeing 737 Max 8 nomor penerbangan JT 610.

Kuasa hukum Ahyudin,  Irfan Junaedi mengungkapkan hal itu saat persidangan dengan agenda pembacaan nota pembelaan atau pleidoi di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel), Selasa (3/1/2023).

“Terdakwa adalah tulang punggung puluhan keluarganya, memiliki 14 anak yang masih kecil-kecil semua yang masih membutuhkan kasih sayang seorang bapak dan juga biaya pendidikan serta kesehatan yang harus disiapkan oleh terdakwa,” ujar Irfan.

Irfan menyampaikan, pertimbangan lain yang harus diperhitungkan hakim yakni Ahyudin bersikap sopan selama menjalani persidangan.

Apalagi, lanjut Irfan, Ahyudin semasa hidupnya belum pernah dihukum. Ahyudin turut menjalani seluruh proses hukum ini dengan bersikap kooperatif.

“Selama terdakwa memimpin lembaga dan berdasarkan laporan keuangan audited Yayasan ACT pada tahun 2019 dan berdasarkan laporan keuangan audited Yayasan ACT tahun 2020 sudah terlaksana dengan baik dengan predikat wajar tanpa pengecualian,” jelas dia.

“Juga berdasarkan laporan tahunan yayasan ACT pada tahun 2020 seluruh donasi sudah tersalurkan dengan baik,” tambah dia.

Irfan menjelaskan, total donasi pada tahun 2020 yang diterima oleh ACT, Global Wakaf, Global Qurban, dan Global Zakat mencapai Rp 519.354.229.464. Menurut Irfan, hal itu terkumpul berkat kegigihan, keuletan, serta semangat Ahyudin dan seluruh tim.

“Bahwa terdakwa telah memimpin lembaga Yayasan ACT selama 17 tahun dengan kebermanfaatan yang luas bagi masyarakat, baik masyarakat korban bencana, masyarakat pengungsi akibat tragedi kemanusiaan, masyarakat miskin secara umum, masyarakat komunitas lainnya, dan berbagai elemen bangsa dan stakeholders lainnya,” papar dia.

Irfan mengklaim, ACT yang pernah Ahyudin pimpin menjadi lembaga sosial kemanusiaan terbesar di Indonesia. Sebab, ACT telah bersumbangsih luas dan menjadi inspirasi kebajikan bagi berbagai pihak. Pertimbangan lainnya, Ahyudin harus dibebaskan karena memikul beban para orangtua yang hingga saat ini ada 5 orang yang membutuhkan biaya perawatan rumah sakit karena penyakit komplikasi yang mereka alami. Adapun riwayat penyakit jantung Ahyudin juga patut dipertimbangkan oleh majelis hakim.

“Terdakwa harus mengkonsumsi obat secara rutin selain kontrol jantung ke rumah sakit,” kata Irfan

Sementara itu, kata Irfan, Ahyudin harus menanggung beban biaya hidup dan biaya pendidikan kurang lebih dari 150 orang santri pesantren peradaban berikut dewan guru dan staf.

Sebelumnya, JPU pada Kejaksaan Negeri (Kejari) Jakarta Selatan menuntut Ahyudin selama 4 tahun penjara. Ahyudin dinilai terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan penggelapan dana bantuan sosial untuk keluarga korban kecelakaan Pesawat Lion Air Boeing 737 Max 8 nomor penerbangan JT 610.

“Menyatakan terdakwa Ahyudin telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana perbuatan penggelapan dalam jabatan sebagaimana diatur dan diancam pasal 374 KUH Pidana,” kata jaksa dalam persidangan di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Selasa (27/12/2022). “Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dengan pidana penjara selama 4 tahun,” tambah jaksa.

Jaksa menyebut, Ahyudin melakukan menggelapkan dana Boeing bersama eks Presiden ACT periode 2019-2022, Ibnu Khajar serta eks Senior Vice President Operational ACT, Hariyana Hermain. Menurut Jaksa, Yayasan ACT telah menggunakan dana bantuan dari Boeing Community Investment Fund (BCIF) senilai Rp 117 miliar.