Menteri Pertahanan Republik Indonesia (Menhan RI) Prabowo Subianto turut menghadiri upacara pelantikan Kepala Staf TNI AL yang dipimpin oleh Presiden RI Joko Widodo di Istana Negara Jakarta, Rabu (28/12/2022). Dok: Kemhan RI

JAKARTA – Indonesia sudah mengirimkan kapal perang ke Laut Natuna Utara untuk memantau kapal penjaga pantai Tiongkok yang telah aktif di daerah maritim tersebut.

Hal ini diungkapkan kepala staf angkatan laut (KSAL) Laksamana Muhammad Ali, Sabtu (14/1/2023) di kawasan Jakarta Pusat.

Dia menyebut, data pelacakan kapal menunjukkan kapal, CCG 5901, telah berlayar di Laut Natuna, khususnya di dekat ladang gas Blok Tuna dan ladang minyak dan gas Chim Sao Vietnam sejak 30 Desember.

“Sebuah kapal perang, pesawat patroli maritim, dan drone telah dikerahkan untuk memantau kapal tersebut,” kata Muhammad Ali.

“Kapal Tiongkok itu tidak melakukan aktivitas yang mencurigakan. Namun perlu kita pantau karena sudah lama berada di zona ekonomi eksklusif (ZEE) Indonesia,” ujar dia.

Juru bicara Kedutaan Besar Tiongkok di Jakarta enggan berkomentar terkait permasalaha yang terjadi

Sebelumnya, konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS) memberikan hak navigasi kapal melalui ZEE.

Kegiatan tersebut dilakukan setelah tercapainya kesepakatan ZEE antara Indonesia dan Vietnam, serta persetujuan dari Indonesia untuk mengembangkan lapangan gas Tuna di Laut Natuna, dengan perkiraan total investasi lebih dari $3 miliar hingga dimulainya produksi.

Pada tahun 2021, kapal-kapal dari Indonesia dan Tiongkok saling membayangi selama berbulan-bulan di dekat anjungan minyak submersible yang melakukan penilaian sumur di blok Tuna.

Saat itu, Tiongkok mendesak Indonesia untuk menghentikan pengeboran, dengan mengatakan aktivitas tersebut terjadi di wilayahnya.

Negara terbesar di Asia Tenggara itu mengatakan bahwa di bawah UNCLOS, ujung selatan Laut China Selatan adalah zona ekonomi eksklusifnya, dan menamai wilayah itu sebagai Laut Natuna Utara pada 2017.

Namun, Tiongkok menolak dengan mengatakan bahwa wilayah maritim berada dalam klaim teritorialnya yang luas di Laut China Selatan yang ditandai dengan “garis sembilan putus” berbentuk U, sebuah batas yang ditemukan oleh Pengadilan Arbitrase Permanen di Den Haag tidak memiliki dasar hukum pada tahun 2016 .