Alvin Lim memamparkan temuan pertama mereka yakni adanya berita acara pemeriksaan yang tidak ada tandatangan saksi, tersangka dan penyidik. Dia menduga ada permainan pada temuan tersebut. Dok: ist

JAKARTA -Kuasa hukum korban, Alvin lim, mengungkap dugaan kejanggalan dalam pengusutan kasus Koperasi Simpan Pinjam Indosurya Cipta (Indosurya) oleh Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus (Dittipideksus) Bareskrim Polri.

Dalam video yang diunggah di akun Youtube LQ Lawfirm dengan judul “PART 2: BONGKAR TUNTAS SKANDAL PONZI TERBESAR DI INDONESIA!! TRUTH REVEALED !!” Alvin Lim memamparkan temuan pertama mereka yakni adanya berita acara pemeriksaan yang tidak ada tandatangan saksi, tersangka dan penyidik. Dia menduga ada permainan pada temuan tersebut.

“Karena penyidik bisa saja atau diduga memberi perlakuan spesial kepada saksi/tersangka dan pemeriksaan dapat dilakukan melalui email dengan daftar pertanyaan dikirimkan ke saksi atau tersangka,” kata Ketua LQ Indonesia Lawfirm, Alvin Lim, Kamis (7/4/2022).

“Sehingga di sinilah bisa ada tandatangan yang tidak ada,” ucap dia.

Alvin meyakini, apabila penyidikan dilakukan secara langsung atau tatap muka, maka penyidik atau saksi tidak mungkin lupa membubuhkan tandatangannya.

Alvin melanjutkan kejanggalan kedua, mengutip Surat Kejaksaan Agung, 9 Juli 2021 yang ada cap dan tandatangan Jampidum, ditujukan untuk Direktur Tipideksus.

Dia mengungkapkan keanehannya karena banyak surat penerimaan dan berita acara penyitaan tidak ada tandatangan saksi, penyidik dan orang yang menguasai barang.

“Bukankah prosedur penyitaan melalui KUHAP harus ada surat penyitaan disaksikan oleh pengurus lingkungan, harus ada tandatangan dari si pemilik barang? Ini kenapa banyak sekali surat penyitaan tidak ada tandatangan?,” jelas Alvin.

Bahkan yang lebih membuat pihaknya heran, berita acara penyitaan tanggal 17 September 2020, tidak ada tandatangan penguasa barang, Henry Surya berdasarkan petunjuk jaksa nomor 46. Ini dianggap merupakan pelanggaran Hukum Acara Pidana atau hukum formiil.

“Banyak surat penerimaan dan Berita Acara Penyitaan yang Kejagung sebutkan bagian bawahnya terpotong. Jika cuma satu, dua mungkin kelalaian, tapi ini banyak sekali dan bagian bawah terpotong, ada apa ini?,” tanya Alvin.

Dia menduga, celah tersebut tentu bisa digunakan oknum penyidik untuk nantinya mengganti isi berita acara, baik jumlah barang sitaan maupun bentuk dan jumlah dana yang disita.

“Hal ini kenapa saya adukan Direktur Tipideksus yang lama dan yang baru ke Propam Polri. Mereka sudah tahu kejanggalan ini dan surat tersebut di nomor 53 sudah tertera bahwa BAP tersangka Henry Surya, tidak ada berita acara pemeriksaan Suwito Ayub,” jelas Alvin.

Dia mengatakan, diduga sudah ada tanda-tanda penghilangan keterangan Suwito Ayub.

“Hal itu, terbukti dari bahasa materiil dari petunjuk jaksa bahwa sudah terlihat grand design dimana oknum penjahat diduga berkolusi dengan oknum aparat untuk memainkan kasus Rp15 triliun ini,” jelasnya.

“Apakah kejanggalan ini menjadi bukti bahwa aparat kepolisian tertinggi yaitu Mabes Polri dapat dibeli oleh kriminal kerah putih? Lalu bagaimana nasib masyarakat?,” lanjut Alvin.

Menurut dia, terdapat tiga surat dari Kejaksaan Agung berisi petunjuk jaksa untuk Dittipideksus Bareskrim Polri dan masing-masing untuk setiap tersangka.

Berdasarkan surat tersebut, kata Alvin, kejanggalan proses penyidikan sebenarnya dibongkar oleh Kejaksaan Agung itu sendiri.

“LQ hanya membacakan dan menjelaskan/interpretasi petunjuk-petunjuk jaksa dalam penyidikan kasus Indosurya yang dilakukan asal-asalan tidak profesional dan ada dugaan penyelewengan sehingga masyarakat menjadi korban untuk kedua kalinya,” kata Alvin.

Diketahui, KSP Indosurya Cipta terjerat kasus gagal bayar dan penghimpunan dana ilegal. Dua orang bos Indosurya yakni Henry Surya dan June Indria, sudah ditangkap dan ditahan. Sementara satu tersangka lainnya, Suwito Ayub, kabur dan telah masuk daftar pencarian orang (DPO).

Menurut Alvin, ada 14.500 nasabah yang menaruh dananya di KSP Indosurya Cipta. Dana yang dihimpun ditaksir mencapai Rp37 triliun.